1. Latar
Belakang Masalah
Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah
pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi
diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Baik
kalangan menengah keatas maupun menengah kebawah. Di daerah perkotaan sebanyak 21,75%
anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dinikahkan. Di perdesaan, angkanya jauh
lebih besar yaitu 47,79 %, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir
masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat
dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus
meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu
pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari
nafkah.
Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa
pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun
alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk
dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk
membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam
menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan.
Pernikahan dini merupakan gejala social masyarakat
yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang mereka anut. Yaitu tindakan yang
dihasilkan oleh olah pikir masyarakat setempat. Yang sifatnya bisa saja masih
mengakar kuat pada kepercayaan masyarakat tersebut. Hal yang sangat penting
untuk dipikirkan adalah bagaiana keuntungan atau sebaliknya, hanya kerugian
yang didapatkan. Dalam pernikahan dini ini banyak sekali dampak yang dapat
ditimbulkan baik secara social, psikologi, dan kesehatan. Namun yang kita bahas
saat ini adalah dampak yang berimbas pada kesehatan yang lebih khususnya
masalah kesehatan reproduksi. Hal ini sangat penting untuk diulas karena
kesehatan reproduksi berpengaruh pada kualitas janin yang dihasilkan, dan juga
mempengaruhi tingkat kesehatan ibu. Karena majunya suatu negara dapat
diimplikasikan dengan angka kematian ibu.
Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk
memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan
pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena
sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satu-satunya solusi atas
kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Dan bagaimanakah pertanggung
jawaban yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang
diakibatkan oleh pernikahan dini, terutama hak mereka untuk mendapatkan
perlindungan atas gangguan kesehatan reproduksi yang bisa saja terganggu. Pertanyaan ini dapat di jawab dengan
sikap ilmiah dan bijaksana.(1)Bagaimana fenomena
pernikahan dini di Indonesia?(2)Apa
saja factor- factor yang mempengaruhi terjadinya fenomena pernikahan dini?(3)Bagaimana dampak akibat
pernikahan dini terhadap kesehatan reproduksi remaja?(4)Bagaimana atau apa saja
strategi pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini yang
berakibat pada kesehatan reproduksi?
2. Fenomena Pernikahan Dini di
Indonesia
Usia
muda adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa
dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka
bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir dan bertindak,
tetapi bukan orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat, 1997:33).
Menurut
Konopka (1976:241), menjelaskan bahwa masa muda dimulai pada usia dua belas
tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun sama halnya dengan teori yang
diungkapkan oleh Monks (1998:262) batasan usia secara global berlangsung antara
umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun
masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.
Menurut
Elizabeth B. Hurlock (1994:212) menyatakan secara tradisional masa muda
dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi
meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Menikah sebelum cukup usia ternyata
masih ada di jaman modern sekarang ini. Mungkin masih kita ingat pernikahan
Manohara O. Pinot dengan pangeran kesultanan Malaysia yang berakhir dengan
percerian dan konflik, selain itu ada pula pernikahan dini antara gadis berusia
15tahun dengan Syeikh Puji, pimpinan pondok pesantren dimana gadis tersebut
menimba Ilmu. Hal tersebut tentu tak
lepas dan sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di masyarakat bahwa
wanita tak boleh sampai terlambat menikah, atau mempunyai alasan jika
dinikahkan dengan orang yang sudah
berada, tak perlu khawatir masa depannya akan terpuruk. Oleh karena itu banyak
anak – anak usia remaja pun sudah di nikahkan. Bahkan ada budaya perjodohan
sejak anak perempuan belum lulus SD atau masih SMP. Namun saat ini, alasan
budaya tidak semata – mata sebagai alasan utama keluarga menikahkan anak
perempuannya saat masih belia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Komisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Renbang, pernikahan dini karena
perjodohan saat usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada tahun 2006 – 2010 ,
jumlah anak menikah dini (dibawah 17 tahun) masih meningkat. Sementara data
lain menunjukkan, adanya beberapa penyebab terjadinya pernikahan usia dini. Dr.
Sukron Kamil dari UIN menyatakan, 62% wanita menikah karena hamil, 21% di paksa
orangtua pernikahan karena ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan
dan sisanya karena status sosial (Lubis, 2012).
Namun secara umum, perkawinan usia anak ini tidak terlepas
dari beberapa faktor yang memengaruhi. Menurut Hadi
Supeno, ada tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: Tradisi lama yang sudah turun temurun
yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar.
Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh,
orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah.
Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak
berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan
perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas
nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa
mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan
apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak perempuannya
sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum. Ada yang
mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari kesenangan pada banyak hal
termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur. Ada pula yang karena kelainan
mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama
agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada
usia anak bukanlah ajaran agama, terutama apabila diklaim sebagai bagian dari
sunah Nabi SAW.
Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh
Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini
memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam
pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.”
Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua
diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana
UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris
tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.
Faktor ketiga ini, menarik perhatian untuk membuka lembaran
sejarah pada saat perumusan Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Batas usia yang ditawarkan dalam RUU Perkawinan adalah usia 21 tahun bagi
laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Ketentuan ini mengundang reaksi keras
khususnya dari kalangan muslim sendiri, karena dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam. Sedangkan ketentuan dalam RUU tersebut merupakan respon terhadap
maraknya praktik pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia dan
berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan pada saat itu. Akhirnya, ketentuan
yang disepakati oleh parlemen adalah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi perempuan.
Pemberlakuan perundang-undangan perkawinan kurang lebih 34
tahun, ternyata belum mampu memberikan perubahan yang berarti dalam masyarakat.
Beberapa daerah di Indonesia berdasarkan laporan pencapaian Millennium
Development Goal’s (MDG’s) Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh
Bappenas (Badan Pengawasan Nasional) menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring
Pendidikan oleh Education Network for Justice pada enam desa/kelurahan
di Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan
Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) menemukan 28,10 % informan menikah pada usia di
bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03 %,
dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di Jawa Timur (58,31 %). Angka
tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di
bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25 % dari jumlah pernikahan
yang ada. Bahkan di beberapa daerah persentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur
(39,43 %), Kalimantan Selatan (35,48 %), Jambi (30,63 %), Jawa Barat (36 %),
dan Jawa Tengah (27,84 %). Demikian juga temuan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) di Kawasan Pantura, perkawinan anak mencapai 35 %, 20 % di
antaranya dilakukan pada usia 9-11 tahun.
Di samping itu, laporan Into A New World: Young Women’s
Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates
Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di
Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18 % dan pernikahan di bawah usia 18
tahun mencapai 49 % pada tahun 1998. Kondisinya saat ini tidak jauh berbeda,
berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di Kabupaten Nias, angka
pernikahan antara 13-18 tahun berjumlah 9,4 % dari 218 responden perempuan yang
telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan pada usia muda bagi anak
perempuan 3 kali lebih besar dibanding dengan anak laki-laki (Data Populasi
Nias dan Nias Selatan, BPS Tahun 2005). Di Kota Malang menurut catatan kantor
Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun
meningkat 50 % dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan
yang usia pengantin perempuannya masih dibawah 15tahun. Data dari Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dari 2 juta perkawinan sebanyak
34,5 % kategori pernikahan dini. Data pernikahan dini tertinggi berada di Jawa
Timur. Bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yakni mencapai 39 %.
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah
jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan
seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat
Indonesia yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan
ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial.
Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif
terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan
keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu penyebab
pernikahan bawah umur adalah karena dipaksa orang tua. Hal tersebut memang
sering terjadi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya
menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancama
depresi pun dapat menyerangnya (Purba, 2012).
Di
Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru.
Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata
umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan pasangan
usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%.
Padahal
pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki
25-28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis
sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan
secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis
dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk
melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan
pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasi sikap tidak appresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh
bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan dalam pernikahan.
3 Factor- Factor yang Memicu
Terjadinya Fenomena Pernikahan Dini.
1.
Faktor Lingkungan
Alasan orang tua segera menikahkan
anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan
antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka
inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa
keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki
setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.
Dimana perkawinan tersebut dilatar
belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia (orang tua
mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara
mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi
kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan
untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh
orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan
tersebut.
2.
Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya
dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut:
a.
Untuk sekedar memenuhi
kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua
mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda
ini, akan diterima sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah
uang dari handai taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup
biaya kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b.
Untuk menjamin
kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua
mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam
usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah
menjadi suami istri, dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari
kedua belah pihak orang tuanya, dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang
usaha yang saling membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah
perkawinan usia muda tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan
sudah mulai diambil, sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut
berkembang menjadi satu usaha yang lebih besar.
3.
Faktor Sosial
Di dalam melangsungkan suatu perkawinan,
di sini wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan pernikahan.
Hal ini berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat
perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu
tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap
hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit
menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di sini yang dimaksud
sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga individu yang
bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :
a) Sudah
mampu untuk menjaga diri.
b) Cakap
untuk mengurus harta benda dan keperluan sendiri.
c) Cakap
untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan segala-galanya sendiri.
4.
Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga
disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur
ke dalam perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat
untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya
aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga
mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya
dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan umur dan
mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan secara finansial
yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok.
1.
Faktor
Pendidikan
Rendahnya
tingkat pendidikan menjadikan para remaja tidak
mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka
menikah tanpa memiliki bekal yang cukup.Tentang dampak bagi kesehatan
reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif
ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia
dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul
perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi mereka,
dan kapan atau pada usia berapa mereka
sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat.
2.
Factor Budaya
Factor budaya juga turut mengambil andil yang cukup
besar, karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya
kepercayaan. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak
segera menikah, itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam
lingkungannya. Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu
dan meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan,
kebanyakan orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan
sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban
sang orang tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang
tidak terpikir oleh mereka sebelumnya.
4. Dampak Akibat Pernikahan Dini
Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja.
Perempuan yang menikah dibawah umur
20 tahun mempunyai resiko terhadap alat reproduksinya karena pada masa remaja ini, alat
reproduksinya belum matang untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap
melakukan fungsinya setelah umur diatas 20 tahun sampai dengan usia 35 tahun,
karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa yang maksimal. Pada usia
14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik kekuatan dan
kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture (robek). Pada
usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil
mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia
kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduksi aktif.
Beberapa resiko yang bisa timbul dari kehamilan diusia
dini yaitu Anonim,(2010) :
1.
Kanker Leher Rahim
Dalam
laporan WHO kanker leher Rahim setidaknya sudah merenggut jiwa wanita hingga 5 juta,
sedangkan di Indonesia walaupun belum jelas berpa angka pastinya, diperkirakan
90-100 jiwa dari 100 ribu penduduk mengindap kanker leher Rahim. Hal ini
menjadikan kanker leher Rahim pembunuh wanita nomer dua setelah kanker
payudara.
Perkawinan dalam usia muda merupaka salah satu factor yang menyebabkan
keganansan mulut rahim. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang bagian
ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina. Kanker serviks merupakan kanker yang
berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan berkembang dari
serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh diluar serviks bahkan
terus tumbuh sampai dinding panggul. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim
belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan
menyimpang menjadi kanker. Jenis kanker ini disebabkan oleh virus bernama Human
Papilloma Virus – atau yang lebih dikenal virus HPV ini. Sekitar 70% –
80% dari pengidap kanker serviks disebabkan oleh virus HPV 16 dan HPV 18
sebagai penyebab utamanya, seseorang yang terinfeksi virus papiloma ( Human
Papilloma Virus -HPV )
Infeksi HPV paling sering terjadi pada kalangan dewasa muda (18-28
tahun). Perkembangan HPV ke arah kanker serviks pada infeksi pertama tergantung
dari jenis HPV-nya. HPV tipe risiko rendah atau tinggi dapat menyebabkan
kelainan yang disebut pra kanker.
Tipe HPV yang berisiko rendah hampir tidak berisiko, tapi dapat
menimbulkan genital warts (penyakit kutil kelamin). Walaupun sebagian besar
infeksi HPV akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 tahun karena adanya system
kekebalan tubuh alami, namun infeksi yang menetap yang disebabkan oleh HPV tipe
tinggi dapat mengarah pada kanker serviks. Dan berpotensi menjadi tumor bila
tidak dilakukan pengobatan.
Awal penyebaran sel kanker ini berkembang dari mulut rahim yang
letaknya berada di bawah rahim dan di atas vagina. Oleh sebab itu kanker
serviks disebut juga kanker leher rahim atau kanker mulut rahim. Di mulut rahim
ada dua jenis sel, yaitu sel kolumnar dan sel skuamosa. Sel skuamus ini sangat
berperan dalam perkembangan kanker serviks. Lihat gambar di bawah untuk
mendapat gambaran tentang stadium kanker serviks
Keberadaan penyakit kutil kelamin merupakan salah satu faktor
pendukung menyebarnya virus HPV ini karen penyakit kutil kelamin juga
disebabkan oleh virus HPV. Namun perbedaannya adalah, kanker serviks disebabkan
oleh HPV dengan tipe 16 dan 18 sedangkan kutil kelamin disebabkan oleh HPV tipe
6 dan 11.
Kutil kelamin adalah benjolan-benjoilan yang tumbuh pada alat kelamin
manusia dalam berbagai variasi bentuk. Pada wanita, kutil kelamin tumbuh pada
vulva dan serviks. Sedangkan padapria, kutil kelamin akan cenderung muncul pada
penis atau skrotum dan pada beberapa kasus tertentu kutil kelamin tumbuh pada
area selangkangan.
Bagi pria yang terkena kutil kelamin, keluhan yang akan dirasakan yaitu
rasa gatal dan panas, pendarahan dan rasa sakit pada penis, strotum dan daerah
anal. Pada wanita, keluhan yang akan dirasakan hampir sama dengan pria, yakni
rasa gatal dan panas. Terutama pada wanita yang sedang mengandung, kutil
kelamin yang diderita bisa menjangkiti janin dalam kandungannya pada saat
lahir.
Kutil kelamin bisa menembus dan bertransmisi pada bayi, sehingga akan
menyebabkan timbulnya kutil pada leher bayi dan membuat bayi kesulitan bernafas,
yang mengarah pada pertumbuhan kanker leher rahim. Leher rahim ada dua lapis
epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel
terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan
berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV
menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari
kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga
resiko makin kecil.
Tanda dan Gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker
ditandai dengan ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang
dapat dideteksi melalui tes Pap Smear, atau yang baru-baru ini disosialisasikan
yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks
tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks,
barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina
yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan
seksual. segera periksakan ke dokter anda untuk mendiagnosa jika anda mengalami
gejala kanker serviks seperti itu. Untuk itu perempuan yang aktif
secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
2.
Resiko Tinggi Ibu Hamil
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan
usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan,
kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.
Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah
antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan
lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah
sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat
bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian.
Remaja tahap awal beresiko paling besar untuk menghadapi
masalah dalam masa hamil dan melahirkan anak, BBLR, kematian bayi dan abortus,
remaja tahap awal cenderung memulai perawatan prenatal lebih lambat daripada
remaja berusia lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi.
5 Strategi pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan
pernikahan dini
Pemerintah harus berkomitmen serius dalam
menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga
pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur
berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah
harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di
bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan
resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur
kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar
bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus
dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin
maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan
pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara
pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah
terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak
akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak –
anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan
muda, yaitu:
§ Undang-undang
perkawinan
o Undang-undang
negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
o Kebijakan
pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui
proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak
benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
o Dari
sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi
ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi
sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang
belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai
banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan
diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
§ Bimbingan
kepada remaja dan kejelasan tentang sex education
o Pendidikan
seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah
kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah
beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para
remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan
perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang
komprehensif termasuk bagi para remaja.
o Meninjau
berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di
masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang
tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian
besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang
vulgar.
o Berdasarkan
sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi
perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan
persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang
kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
§ Memberikan
penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat.
Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya
masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan
ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa
saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar
masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung
jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun
tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini
faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan,
para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat
menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada
akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah
sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran.
§ Bekerja
sama dengan tokoh agama dan masyarakat
Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada
masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit
untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu
dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau
tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan
kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan
hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang
baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai
andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan.
3 komentar:
wah postingnya bagus mb... maksih yaaa. opic..
reverensinnya dari mana ini
kalau dikasi reverensinya lebih bagus mbak :D
Posting Komentar