Sabtu, 04 Mei 2013

Keadaan Sosial Budaya Masyarakat tentang Pernikahan Dini dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi



1.      Latar Belakang Masalah
Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi diberbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Baik kalangan menengah keatas maupun menengah kebawah. Di daerah perkotaan sebanyak 21,75% anak-anak dibawah usia 16 tahun sudah dinikahkan. Di perdesaan, angkanya jauh lebih besar yaitu 47,79 %, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah.
Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan.
Pernikahan dini merupakan gejala social masyarakat yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang mereka anut. Yaitu tindakan yang dihasilkan oleh olah pikir masyarakat setempat. Yang sifatnya bisa saja masih mengakar kuat pada kepercayaan masyarakat tersebut. Hal yang sangat penting untuk dipikirkan adalah bagaiana keuntungan atau sebaliknya, hanya kerugian yang didapatkan. Dalam pernikahan dini ini banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan baik secara social, psikologi, dan kesehatan. Namun yang kita bahas saat ini adalah dampak yang berimbas pada kesehatan yang lebih khususnya masalah kesehatan reproduksi. Hal ini sangat penting untuk diulas karena kesehatan reproduksi berpengaruh pada kualitas janin yang dihasilkan, dan juga mempengaruhi tingkat kesehatan ibu. Karena majunya suatu negara dapat diimplikasikan dengan angka kematian ibu.
Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satu-satunya solusi atas kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Dan bagaimanakah pertanggung jawaban yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan- permasalahan yang diakibatkan oleh pernikahan dini, terutama hak mereka untuk mendapatkan perlindungan atas gangguan kesehatan reproduksi yang bisa saja terganggu. Pertanyaan ini dapat di jawab dengan sikap ilmiah dan bijaksana.(1)Bagaimana fenomena pernikahan dini di Indonesia?(2)Apa saja factor- factor yang mempengaruhi terjadinya fenomena pernikahan dini?(3)Bagaimana dampak akibat pernikahan dini terhadap kesehatan reproduksi remaja?(4)Bagaimana atau apa saja strategi pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini yang berakibat pada kesehatan reproduksi?
2. Fenomena Pernikahan Dini di Indonesia
Usia muda adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat, 1997:33).
Menurut Konopka (1976:241), menjelaskan bahwa masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun sama halnya dengan teori yang diungkapkan oleh Monks (1998:262) batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1994:212) menyatakan secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Menikah sebelum cukup usia ternyata masih ada di jaman modern sekarang ini. Mungkin masih kita ingat pernikahan Manohara O. Pinot dengan pangeran kesultanan Malaysia yang berakhir dengan percerian dan konflik, selain itu ada pula pernikahan dini antara gadis berusia 15tahun dengan Syeikh Puji, pimpinan pondok pesantren dimana gadis tersebut menimba Ilmu. Hal tersebut tentu  tak lepas dan sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di masyarakat bahwa wanita tak boleh sampai terlambat menikah, atau mempunyai alasan jika dinikahkan  dengan orang yang sudah berada, tak perlu khawatir masa depannya akan terpuruk. Oleh karena itu banyak anak – anak usia remaja pun sudah di nikahkan. Bahkan ada budaya perjodohan sejak anak perempuan belum lulus SD atau masih SMP. Namun saat ini, alasan budaya tidak semata – mata sebagai alasan utama keluarga menikahkan anak perempuannya saat masih belia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Renbang, pernikahan dini karena perjodohan saat usia sekolah masih terbilang tinggi. Pada tahun 2006 – 2010 , jumlah anak menikah dini (dibawah 17 tahun) masih meningkat. Sementara data lain menunjukkan, adanya beberapa penyebab terjadinya pernikahan usia dini. Dr. Sukron Kamil dari UIN menyatakan, 62% wanita menikah karena hamil, 21% di paksa orangtua pernikahan karena ingin memperbaiki ekonomi dan keluar dari kemiskinan dan sisanya karena status sosial (Lubis, 2012).
Namun secara umum, perkawinan usia anak ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang memengaruhi. Menurut Hadi Supeno, ada tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: Tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah.
Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum. Ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur. Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama, terutama apabila diklaim sebagai bagian dari sunah Nabi SAW.
Secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.” Pasal 26 UU R.I Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua diwajibkan melindungi anak dari perkawinan dini, tetapi pasal ini, sebagaimana UU Perkawinan, tanpa ketentuan sanksi pidana sehingga ketentuan tersebut nyaris tak ada artinya dalam melindungi anak-anak dari ancaman perkawinan dini.
Faktor ketiga ini, menarik perhatian untuk membuka lembaran sejarah pada saat perumusan Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia yang ditawarkan dalam RUU Perkawinan adalah usia 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Ketentuan ini mengundang reaksi keras khususnya dari kalangan muslim sendiri, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan ketentuan dalam RUU tersebut merupakan respon terhadap maraknya praktik pernikahan di bawah umur yang terjadi di Indonesia dan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan pada saat itu. Akhirnya, ketentuan yang disepakati oleh parlemen adalah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Pemberlakuan perundang-undangan perkawinan kurang lebih 34 tahun, ternyata belum mampu memberikan perubahan yang berarti dalam masyarakat. Beberapa daerah di Indonesia berdasarkan laporan pencapaian Millennium Development Goal’s (MDG’s)  Indonesia 2007 yang diterbitkan oleh Bappenas (Badan Pengawasan Nasional) menyebutkan, bahwa Penelitian Monitoring Pendidikan oleh Education Network for Justice pada enam desa/kelurahan di Kabupaten Serdang Badagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur) menemukan 28,10 % informan menikah pada usia di bawah 18 tahun. Mayoritas dari mereka adalah perempuan yakni sebanyak 76,03 %, dan terkonsentrasi di dua desa penelitian di Jawa Timur (58,31 %). Angka tersebut sesuai dengan data dari BKKBN yang menunjukkan tingginya pernikahan di bawah usia 16 tahun di Indonesia, yaitu mencapai 25 % dari jumlah pernikahan yang ada. Bahkan di beberapa daerah persentasenya lebih besar, seperti Jawa Timur (39,43 %), Kalimantan Selatan (35,48 %), Jambi (30,63 %), Jawa Barat (36 %), dan Jawa Tengah (27,84 %). Demikian juga temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Kawasan Pantura, perkawinan anak mencapai 35 %, 20 % di antaranya dilakukan pada usia  9-11 tahun.
Di samping itu, laporan Into A New World: Young Women’s Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18 % dan pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 49 % pada tahun 1998. Kondisinya saat ini tidak jauh berbeda, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di Kabupaten Nias, angka pernikahan antara 13-18 tahun berjumlah 9,4 % dari 218 responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan pada usia muda bagi anak perempuan 3 kali lebih besar dibanding dengan anak laki-laki (Data Populasi Nias dan Nias Selatan, BPS Tahun 2005). Di Kota Malang menurut catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 15 tahun meningkat 50 % dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih dibawah 15tahun. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dari 2 juta perkawinan sebanyak 34,5 % kategori pernikahan dini. Data pernikahan dini tertinggi berada di Jawa Timur. Bahkan lebih tinggi dari angka rata-rata nasional yakni mencapai 39 %.
Fenomena pernikahan pada usia anak di daerah lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memosisikan anak perempuan sebagai warga kelas kedua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu penyebab pernikahan bawah umur adalah karena dipaksa orang tua. Hal tersebut memang sering terjadi. Perjodohan yang diterima anak dengan keterpaksaan bukan hanya menimbulkan dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancama depresi pun dapat menyerangnya (Purba, 2012).
Di Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan pasangan usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat mengindikasi sikap tidak appresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan dalam pernikahan.
3 Factor- Factor yang Memicu Terjadinya Fenomena Pernikahan Dini.
1.       Faktor Lingkungan
Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.
Dimana perkawinan tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia (orang tua mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut.
2.   Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut:
a.         Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b.        Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya, dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil, sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi satu usaha yang lebih besar.
3.      Faktor Sosial
Di dalam melangsungkan suatu perkawinan, di sini wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan pernikahan. Hal ini berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di sini yang dimaksud sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga individu yang bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :
a)    Sudah mampu untuk menjaga diri.
b)   Cakap untuk mengurus harta benda dan keperluan sendiri.
c)    Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan segala-galanya sendiri.

4.       Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam perbuatan dosa, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan juga mempunyai andil besar dalam pernikahan seseorang. Tugas yang seharusnya dilakukan adalah menikahkan anak- anak yang sudah mempunyai kecukupan umur dan mempunyai kesiapan secara psikologis serta mempunyai kemampuan secara finansial yang bisa menunjang kehidupan rumah tangganya esok.
1.      Faktor Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan para remaja tidak mengetahui berbagai dampak negatif dari pernikahan anak. Dengan demikian meraka menikah tanpa memiliki bekal yang cukup.Tentang dampak bagi kesehatan reproduksi, mereka tentu tidak tahu. Untuk itu perlu sosialisasi dampak negatif ini, karena rata-rata mereka hanya lulusan SD. Padahal pentingnya untuk memberikan pendidikan seks mulai anak berusia dini. Hal ini bertujuan agar anak nantinya setelah dewasa mengetahui betul perkembangan reproduksi mereka, bagaimana menjaga kesehatan reproduksi mereka, dan kapan atau pada usia berapa  mereka sudah bisa memantaskan diri untuk siap melakukan hubungan yang sehat.

2.      Factor Budaya
Factor budaya juga turut mengambil andil yang cukup besar, karena kebudayaan ini diturunkan dan sudah mengakar layaknya kepercayaan. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah, itu akan memalukan keluarga karena dianggap tidak laku dalam lingkungannya. Atau jika ada orang yang secara finansial dianggap sangat mampu dan meminang anak mereka, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan, kebanyakan orang tua menerima pinangan tersebut karena beranggapan masa depan sang anak akan lebih cerah, dan tentu saja ia diharapkan bisa mengurangi beban sang orang tua. Tak lepas dari hal tersebut, tentu saja banyak dampak yang tidak terpikir oleh mereka sebelumnya.

4. Dampak Akibat Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja.
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun mempunyai resiko terhadap alat reproduksinya karena pada masa remaja ini, alat reproduksinya belum matang untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur diatas 20 tahun sampai dengan usia 35 tahun, karena pada masa ini fungsi hormonal melewati masa yang maksimal. Pada usia 14-18 tahun, perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik kekuatan dan kontraksinya sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture (robek). Pada usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil mudah terjadi pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia kehamilan terlalu dini dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduksi aktif.
Beberapa  resiko yang bisa timbul dari kehamilan diusia dini yaitu Anonim,(2010) :
1.      Kanker Leher Rahim
Dalam laporan WHO kanker leher Rahim setidaknya sudah merenggut jiwa wanita hingga 5 juta, sedangkan di Indonesia walaupun belum jelas berpa angka pastinya, diperkirakan 90-100 jiwa dari 100 ribu penduduk mengindap kanker leher Rahim. Hal ini menjadikan kanker leher Rahim pembunuh wanita nomer dua setelah kanker payudara.
Perkawinan dalam usia muda merupaka salah satu factor yang menyebabkan keganansan mulut rahim. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang bagian ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina. Kanker serviks merupakan kanker yang berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan berkembang dari serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh diluar serviks bahkan terus tumbuh sampai dinding panggul. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Jenis kanker ini disebabkan oleh virus bernama Human Papilloma Virus – atau yang lebih dikenal virus HPV ini.  Sekitar 70% – 80% dari pengidap kanker serviks disebabkan oleh virus HPV 16 dan HPV 18 sebagai penyebab utamanya, seseorang yang terinfeksi virus papiloma ( Human Papilloma Virus -HPV )
Infeksi HPV paling sering terjadi pada kalangan dewasa muda (18-28 tahun). Perkembangan HPV ke arah kanker serviks pada infeksi pertama tergantung dari jenis HPV-nya. HPV tipe risiko rendah atau tinggi dapat menyebabkan kelainan yang disebut pra kanker.
Tipe HPV yang berisiko rendah hampir tidak berisiko, tapi dapat menimbulkan genital warts (penyakit kutil kelamin). Walaupun sebagian besar infeksi HPV akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 tahun karena adanya system kekebalan tubuh alami, namun infeksi yang menetap yang disebabkan oleh HPV tipe tinggi dapat mengarah pada kanker serviks. Dan berpotensi menjadi tumor bila tidak dilakukan pengobatan.
Awal penyebaran sel kanker ini berkembang dari  mulut rahim yang letaknya berada di bawah rahim dan di atas vagina. Oleh sebab itu kanker serviks disebut juga kanker leher rahim atau kanker mulut rahim. Di mulut rahim ada dua jenis sel, yaitu sel kolumnar dan sel skuamosa. Sel skuamus ini sangat berperan dalam perkembangan kanker serviks. Lihat gambar di bawah untuk mendapat gambaran tentang stadium kanker serviks
Keberadaan penyakit kutil kelamin merupakan  salah satu faktor pendukung menyebarnya virus HPV ini karen penyakit kutil kelamin juga disebabkan oleh virus HPV. Namun perbedaannya adalah, kanker serviks disebabkan oleh HPV dengan tipe 16 dan 18 sedangkan kutil kelamin disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11.
Kutil kelamin adalah benjolan-benjoilan yang tumbuh pada alat kelamin manusia dalam berbagai variasi bentuk. Pada wanita, kutil kelamin tumbuh pada vulva dan serviks. Sedangkan padapria, kutil kelamin akan cenderung muncul pada penis atau skrotum dan pada beberapa kasus tertentu kutil kelamin tumbuh pada area selangkangan.
Bagi pria yang terkena kutil kelamin, keluhan yang akan dirasakan yaitu rasa gatal dan panas, pendarahan dan rasa sakit pada penis, strotum dan daerah anal. Pada wanita, keluhan yang akan dirasakan hampir sama dengan pria, yakni rasa gatal dan panas. Terutama pada wanita yang sedang mengandung, kutil kelamin yang diderita bisa menjangkiti janin dalam kandungannya pada saat lahir.
Kutil kelamin bisa menembus dan bertransmisi pada bayi, sehingga akan menyebabkan timbulnya kutil pada leher bayi dan membuat bayi kesulitan bernafas, yang mengarah pada pertumbuhan kanker leher rahim. Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.
Tanda dan Gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan ditemukannya sel-sel abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui tes Pap Smear, atau yang baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual. segera periksakan ke dokter anda untuk mendiagnosa jika anda mengalami gejala kanker serviks seperti itu. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
2.        Resiko Tinggi Ibu Hamil
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental , kebutaan dan ketulian.
Remaja tahap awal beresiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam masa hamil dan melahirkan anak, BBLR, kematian bayi dan abortus, remaja tahap awal cenderung memulai perawatan prenatal lebih lambat daripada remaja berusia lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi.

5  Strategi pemecahan masalah untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini

Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak – pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang – undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi – sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko – resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar  mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak – anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
                  Berikut ini adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan muda, yaitu:
§      Undang-undang perkawinan
o   Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa  perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
o   Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
o   Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat  mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
§      Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education
o   Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi (kespro) atau istilah kerennya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Materi pendidikan seks bagi para remaja ini terutama ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.
o   Meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro-kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih memandang pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.
o   Berdasarkan sudut pandang psikologis, pendidikan seksual sangat diperlukan bagi perkembangan remaja, dengan harapan agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang kurang bertanggungjawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
§      Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat.
Memang mengubah suatu kepercayaan, dan budaya masayarakat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun penyuluhan ini sangatlah penting agar para orang tua dan masyarakat mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan karena pernikahan dini. Memang sebagian besar masyarakat atau orang tua segera menikahkan anaknya untuk melepas tanggung jawabnya untuk menfkahi sehingga dirasa dapat meringankan beban keluarga. Namun tanpa disadari, setiap satu remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini faktanya menyumbangkan kemiskinan. Karena dalam usia dini, apalagi di pedesaan, para penduduknya tidak mempunyai perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa depan mereka. Kenyataan pun juga menunjukkan mereka pada akhirnya mengikuti orang tua karena belum mempunyai biaya untuk membeli rumah sendiri. Tak jarang juga akhirnya banyak pengangguran.


§      Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat
Kepercayaan atau pengetahuan baru yang datang pada masyarakat yang sudah mempunyai kebudayaan yang kuat biasanya sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu strategi perlu dilakukan, pada awalnya kita dapat melakukan pendekatan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat yang ada di daerah setempat. Setelah itu kita dapat melakukan kerja sama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut untuk menyuluhkan hal- hal yang sudah diketahuinya pada masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang baru itu akan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Tentu ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan.




3 komentar:

Anonim mengatakan...

wah postingnya bagus mb... maksih yaaa. opic..

blog junasih mengatakan...

reverensinnya dari mana ini

@seputar_lomba mengatakan...

kalau dikasi reverensinya lebih bagus mbak :D

Posting Komentar